Hujan

Aku selalu menyukai hujan, selalu menginginkannya datang. Apalagi jika ditemani aroma lembut secangkir kopi di hadapanku.

Hujan membuatku merindukan kehangatan. Dan membuatku ingin mendapatkannya. Aku menyukai hujan, sangat menyukainya, terlebih sejak aku mengenalmu dalam hujan.

Hujan menyimpan kenangan diantara kita. Kenangan indah yang sulit kuterjemahkan. Tetesan air yang terjatuh dari helai rambutmu, tanpa sengaja terjatuh pada dahiku.

Aku mendongak, dan kulihat kamu berdiri persis di sampingku sambil tersenyum.

"Aku tidak mengganggumu kan?" Sapamu saat aku menatapmu sambil menghapus tetes air pada dahiku, "Kuharap itu bukan akibat ulahku. Terkadang aku seperti serigala yang mengierkena air."

"Tidak masalah." Tanpa kusadari aku merapatkan kedua lenganku menahan dingin yang menyergap.

"Pakai ini." Kamu menyodorkan sebuah jaket yang tadi kamu pakai menutupi tubuhmu.

"Tidak usah. Aku baik-baik saja. Lagipula.." aku menggantungkan kalimatku dan menatapnya sambil tersenyum, "Jaket ini tidak akan muat untukku. Badanmu lebih kecil daripada aku. Kamu mau meledekku, ya?"

"Astaga. Bukan itu maksudku." Kamu menggosok kedua tanganmu, gugup.

"Sudahlah. Tidak usah merasa tak enak begitu." Aku tertawa melihat tingkahnya.

"Begini saja." Kamu melingkarkan jaket itu di bahuku. "Mungkin ini memang tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhmu, tapi paling tidak ini bisa memberimu sedikit kehangatan. Dan aku tidak menerima penolakan."

"Ini bukan saatnya bermain film atau sinetron." Aku terbahak dan mengambil jaket di bahuku dan mengembalikannya padamu.

"Aku tidak menerima penolakan. Mau jaket ini yang menghangatkanmu, ataukah aku yang akan melakukannya?" Kamu mendekat kepadaku.

"Sudaaaaah. Tidak usah becanda!" Aku menjauh sambil tertawa, saking sibuknya menghindarimu, aku terpeleset dan terjatuh.

"Kubilang juga apa, begini kan jadinya." Kamu menghampiriku yang basah kuyup karena aku terjatuh persis di bawah hujan. 

"Ini hanya hujan." Aku tersenyum, dan mengulurkan tanganku untuk meraihnya. Hangat. Itulah rasanya.

"Ayo cepat berdiri. Nanti kamu semakin basah. Kita terperangkap disini entah untuk berapa lama, jangan main-main." Katamu berusaha menarikku.

"Kamu ini seperti perempuan saja. Bawel." Aku tersenyum lagi, sambil menariknya menuju luar tempat kuberteduh tadi. Kini hujan membasahi tubuh kita berdua.

"Apa lagi ini?" Kamu menatapku tajam, sambil menggelengkan kepala.

"Kita terperangkap disini. Hampir kuyup, daripada kedinginan menunggu, lebih baik kita main hujan." Aku tertawa melihat tingkahmu.

"Kamu ini, bisa tidak berhenti bersikap childish?" Katamu sambil mencubit kedua pipiku.

"Kamu kan baru kali ini pergi denganku, kenapa harus menjadi terlalu kaku? Kita nikmati saja jalan-jalan pertama kita ini!" Aku melepaskan tanganmu dari pipiku.

"Aku hampir tidak pernah bisa bilang tidak untukmu." Jawabmu sambil tersenyum.

"Kamu tidak akan pernah bisa bilang tidak padaku."

^^

Aku menatap layar jendelaku, lalu kembali pada layar di hadapanku. Hujan masih turun. Dan hujan memaksaku menulis cerita tentang aku dan kamu. Sebuah cerita indah, yang akan selalu aku ingat dan kenang.

Aku menggenggam telinga cangkir berisi kopi panas di hadapanku, meraba badan cangkirnya untuk menghisap kehangatan dari sana. Lalu kutiup perlahan lapisanbpaling atas dan menyesapnya lembut.
Manis. Hujan dan secangkir kopi hangat memang kombinasi yang pas. Aku meregangkan tubuhku sebentar dan melanjutkan tulisanku lagi.

^^

"Kenapa selalu saja hujan ya setiap kita memutuskan untuk pergi bersama?" Aku menatapmu yang sedang meneguk kopi panas di hadapanku.

"Mana kutahu." Jawabmu, acuh.

"Main hujan lagi, sepertinya menyenangkan." Aku tersenyum usil kepadamu.

"Tidak. Jangan lagi. Aku tidak ingin mendapat tatapan marah dari Ibumu saat mengantarmu pulajg basah kuyup. Lagipula kamu lihat pakaianmu saat ini."

"Apa yang salah?" Aku memperhatikan baju yang kukenakan. Celana jeans hitam dan kemeja putih longgar. "Tertutup kok. Kamu terlalu berlebihan."

"Kamu ini terlalu pintar ya? Apa jadinya jika kemejamu itu terkena air hujan, hah?" Kamu menatapku tajam.
"Oh. Ya. Maaf." Aku mengangguk paham. "Namun, lain kali kupikir kamu bisa mengatakannya dengan lebih halus. Lagipula, ini kan tubuhku. Biar saja." Aku merengut.

"Ini memang tubuhmu. Tapi kamu, tanggung jawabku. Dan kamu, mengikat janji padaku. Aku tidak akan membiarkan kamu menjadi pusat perhatian orang."

"Iya iya. Tapi apa kamu ingat, hubungan kita ini tersembunyi? Dan sepertinya tidak ada yang akan peduli juga."

"Sudahlah. Jangan mendebatku. Tempat ini cukup nyaman untuk menunggu hujan. Tidak seperti saat kencan pertama kita."

"Ah. Jadi kamu akhirnya menyebut pertemuan pertama kita itu kencan?" Aku menggodamu sambil memegang tanganmu. "Aku terharu."

"Sudahlah. Jangan menggodaku." Kamu menahan senyum sambil melepas tanganku dari tanganmu.
"Ayolaaah, kamu mengakuinya juga kan akhirnya? Ah. Aku benar-benar ingin mendengarnya lagi." Aku terus menggodamu.

"Ya, itu kencan pertama kita. Saat hujan." Kamu menarikku ke dalam pelukanmu yang hangat dan mengecup keningku, "Aku menyayangimu. Sangat."

^^

Aku tersenyum membaca setiap kata yang kutulis dalam layar di hadapanku. Ingatanku terbawa kembali ke masa lalu, sambil tersenyum dan menertawakan diri sendiri. Lalu tiba-tiba..

"Ah, siapa ini?" Aku tersenyum menyadari ada seseorang menutup mataku, lembut.

"Sudahlah, jangan becanda. Aku bisa menebaknya dari aroma parfummu." Aku meraba lengannya semakin atas.

"Percuma memang mengerjaimu, kamu terlalu hafal dengan semua tentangku." Sosok itu membuka mataku dan duduk di hadapanku. Ya, sosok itu adalah kamu. Pemeran utama dalam kalimat-kalimat yang sedang kutulis.

"Kamu terlalu lama membuatku menunggu." Aku merajuk manja padamu.

"Tapi kurasa kamu tidak terlalu bosan kan? Tulisanmu cukup bagus. Siapa pemeran utamanya?"

"Ah. Kamu berhentilah menggodaku." Aku tersipu malu menyadari kamu telah menebak tulisanku.

"Aku tahu itu tentang siapa. Tentang kita kan?" Kamu mendekat padaku dan menyesap kopi milikku.

"Ya, tentang kita dan hujan." Aku tersenyum dan menutup layar di hadapanku.
"Hujan?" Kamu menatapku bingung.

"Dari awal kita bersama, hingga kini, hujan selalu menemani kita. Kamu ingat kan?" Aku menyandarkan kepalaku pada bahumu.

"Ya. Selalu ingat." Kamu mengelus rambutku lembut dan tersenyum.

^^

"Aku selalu bahagia saat hujan turun, karena aku dapat mengenangmu untukku sendiri."

( NB : Terimakasih Hujan untuk telah menjadi saksi kenangan diantara aku dan dia )

Tentang dia yang punya sejuta jawaban

Tentang dia. Dia yang udah beberapa lama ini nemenin gue. Yaaa walaupun seperti semu, tapi dia ada. Meskipun namanya ga bisa gue sebut, tapi dia ada.

Dia itu terlalu sulit dijelaskan. Sosoknya manis, seperti kebanyakan mantan gue (lah?), sikapnya santun dan lembut. Tapi ada 1 yang buat gue ga bisa jauh dari dia, pemikiran dia ini hebat banget. Dia bisa ngimbangin gue yang meledak-ledak, apa yang dia pikirin itu out of the box abis, dan entah kenapa gue selalu bisa nurut sama dia.

Kadang gue suka curhat sama dia tentang masalah gue. Keliatannya sih ga didengerin, dianya sambil main games lah, sambil baca buku lah, tapi begitu gue tanya pendapatnya, dengan cepat dia bisa ngutarain apa yang dia pikirin tentang hal itu. Dan anehnya, semua yang dia omongin itu terkadang diluar kapasitas orang lain.

Kaya gue pernah nanya sama dia begini :

"Kenapa ya, kadang aku ngerasa semua tanggungjawab ini ngebuat aku semakin kerdil?"

Dan jawaban dia :

"Kerdil? Emang kenapa juga kamu harus jadi kerdil? Tanggungjawab kamu itu harusnya menjadikan kamu raksasa. Dg smakin banyak tanggungjawab, semakin banyak juga yang nantinya bakal kamu dapet. Kerdil mana yang dapet sebegitu banyak tanggungjawab? Cum raksasa yang akan dapet sebegitu banyak tanggung jawab. Snow White and The Huntsman kamu nonton kan? Yang nolongin si Kristen pas di hutan, siapa? Raksasa. Yang jagain dia pas tiba-tiba dikejar? Raksasa. Emang sih, ada bagian kurcaci perang demi si Kristen, tapi itu si kurcaci sebagai 'bawahan'. Kalo si raksasa, dia pure sebagai orang yang memang ngejaga."

Dan gue terbengong-bengong ngedenger penjelasan dia. Sabodo amat sama itu film, gue ga mau mendebat. Tapi yaaa, pemikirannya itu loh.

Atau gue pernah nanya sama dia begini :

"Hidup kamu itu, buat apa sih?"

Jawaban dia :

"Hidup aku? Ya buat diri aku sendiri. Aku ga akan sok baik dengan bilang hidup aku ini buat orangtua aku, ataupun buat kamu. Hidup aku ya buat aku. Aku yang atur. Aku yang milih. Mau bahagia, aku yang buat. Mau sedih, aku yang buat. Selesai. Kenapa? Karena kalau aku bilang hidup aku ini buat orang lain, nantinya aku jadi ga nikmatin setiap hal, sekalipun hal kecil yang terjadi dalam hidup aku, dan akhirnya aku akan merasa terbebani dan nantinya jadi pamrih. Lagian kalo aku ga bisa bahagia dalam hidup aku, ngapain sok-sokan bahagiain orang lain? Kamu mau emang hidup dalam kepura-puraan?"
Beda banget sama gue emang, tapi alasan dia itu masih bisa gue terima. Dan kata-kata yang dia keluarin itu, seperti nasihat tanpa menggurui buat gue.

Banyak banget kalimat dia yang memprovokasiin hal baru buat gue. Dia itu temen ngobrol yang seru, karena sama dia, banyak banget hal yang bisa keluar dari zona aman dan zona normal. Gue pernah juga nanya sama dia masalah perbedaan keyakinan secara universal. Dan dia bilang :

"Sedih kalo ngomongin itu. Karena di Indonesia ini kaum minoritas suka didiskriminasi. Ya kalo aku sih selama ga mengganggu secara personally, aku ga akan masalah. Tapi secara umum, ini ganggu banget. Ada lah tempat yang nerima pegawai hanya dari kaum mayoritas, ada lah kaum minoritas yang berbuat salah dikit merembetnya kemana-mana dibuat sama mayoritas, ada lah yang seenaknya ngejudge kaum minoritas. Tapi, di dunia ini pun, kaum minoritas emang selalu digituin kan? Ya jalanin aja. Toh Tuhan ga pernah ninggalin kaum minoritas kok. Ya sebenernya aku bingung, Tuhan itu kan 1. Cara kita menyebut Tuhan yang berbeda. Cara kita berbicara dengan-Nya yang berbeda. Kenapa perbedaan bisa berakibat sebesar ini ya?"
Atau tentang pendapat dia masalah gay/lesbi/biseksual :

"Kamu ini banyak tanya. Dan terlalu banyak ikut campur. Biarin aja mereka kaya gitu, mereka kan manusia juga. Kamu pikir mereka ga tersiksa kaya gitu? Berenti berpikir kaum mayoritas itu paling bener. Mereka itu juga tersiksa tau, cuma ya gimana, namanya hidup mereka, ya mereka yang milih mau apa. Dan mau bagaimana. Kalo kamu mau menjudge mereka, mending kamu jadi Tuhan aja gih. Sanggup?"

Dan ada lagi satu pertanyaan gue ke dia, tentang 'kita' , yang jawabannya rada gimana gitu. Gue pernah bilang gini :

"Aku suka bosen sama keadaan kaya gini. Kadang kepikiran buat berenti aja di tengah jalan. Toh diujung juga ga akan bisa satu kan?"

Dan jawaban dia :

"Kamu udah ga bahagia sama pilihan kamu? Ya tinggalin. Berhentiin ini sesuai sama kemauan kamu. Cuma kalo aku, kamu boleh bilang aku berpikiran pendek, tapi kalo aku lebih memilih jalan sama kamu sekarang ini, paling engga untuk bahagianya aku sekarang. Kalo sekarang aku ada kesempatan untuk bisa bahagia, kenapa harus aku lewatin? Masalah nantinya akan selesai dan bikin sedih, ya itu resiko. Emang kamu pikir ada kebahagiaan yang gratis? Semua hal di dunia ini penuh resiko. Sekarang tinggal kamunya aja. Mau ambil resiko untuk setitik kebahagiaan, atau kamu lebih milih ga ambil resiko dan berharap kebahagiaan lain yang lebih besar akan dateng ke kamu, tanpa resiko. Kalo kamu milih yang kedua, ya silakan aja kamu tunggu. Sampe kamu tua, kamu ga akan bahagia pasti. Karena kebahagiaan itu, sekecil apapun, memiliki nilai yang harus dibayar."

Gue debat dia :

"Kebahagiaan itu kan sederhana. Dengan bersyukur kita juga bisa bahagia."

Dia ketawain gue dan jawab :

"Iya. Dengan bersyukur kita juga bisa bahagia. Tapi emang untuk bersyukur itu ga ada perjuangan dan resikonya? Bersyukur itu kan juga perlu belajar, ada prosesnya. Dan apa selama proses itu kamu ga tersiksa?"

Gue masih debat dia :

"Mana ada bersyukur bikin tersiksa."

Dan gue diketawain lagi :

"Kamu itu ngeyel. Terlalu banyak penolakan dalam diri kamu. Aku ga bilang bersyukur bikin tersiksa, aku bilang, selama proses kamu untuk bener-bener bisa bersyukur itu kamu ga tersiksa? Itu pertanyaan buat kamu. Dan kalo pertanyaan itu dikasih ke aku sih jawaban aku pasti selama proses itu aku tersiksa. Gimana engga, bersyukur itu tingkatan sikap hidup yang tinggi, dan cobaannya juga banyak banget. Selama proses kita sampe kata itu, pasti banyak yang bikin kita semakin jatuh dan jauh dari kata itu. Dan saat kita dibikin jatuh dan jauh dari kata itu, emang bisa gitu kita ga ngerasa tersiksa? Contohnya aja kamu, ikut tes di-xxxx (namanya disensor), eh kamu cuma lolos tahap 1, tahap 2nya kalah. Bersyukur gampang ga? Susah kan? Ada prosesnya. Dan selama proses kamu coba buat bersyukur, emang ga nyakitin kamu? Tapi nanti, saat kamu udah bisa bersyukur, kamu akan bahagia banget. Dan berarti apa? Bahkan bersyukur pun perlu 'pembayaran' yang disebut resiko."

Gue sempet bengong, tapi karena gue ga mau kalah, gue alihin ke masalah awal dengan bilang :

"Jadi intinya apa tentang 'bosan' aku sekarang?"

Dia cuek aja main games sambil ngomong :

"Ya kalo kamu ga mau ambil resiko sakit hati karena ujungnya akan pisah, silakan berhentiin. Tapi kalo aku sih, selama masih bahagia, sebesar apapun resikonya, pasti akan aku hadapi."

Gue diem. Dia ngelanjutin :

"Sekarang kamu diem aja, penolakan di diri kamu tuh besar banget kan? Pasti kamu bete, atau marah, atau keduanya. Tapi aku yakin, kamu pasti akan mikirin kata-kata aku ke kamu tadi. Bukan tentang kitanya, tentang kebahagiaan dan resikonya. Bukan aku ga percaya Tuhan, tapi hidup ini, kita yang jalanin dan memilih. Tuhan cuma menuntun dan memberi rambu batasan."

Iya, kaya gitu kata-kata dia. Dan setiap detail kata-katanya yang gue coba sanggah, selalu berujung sama pemikiran 'oh iya dia bener juga'.

Sayangnya, gue ga bisa terlalu banyak dan terus-terusan ngobrol sama dia. Karena banyak hal yang harus sama-sama kita kerjain. Tapi, setiap saat gue sama dia, selalu ada topik pembicaraan dan perdebatan dan pembelajaran baru yang gue rasain.

And that's why....I smile. It's been a while. Since everyday and everything has felt this right. And now, you turn it around. And suddenly you're all I need. The reason why I-I-I I smi-i-le :)

Malah nyanyi deh hahaha.

Pokonya adalah, gue suka banget sama pemikiran dia. Keliatan cerdas dan dia, menghargai hidupnya sendiri. Dan gue harus belajar hal itu dari dia. Karena gue terkadang (sering banget malah) , ga bisa menghargai diri gue dan hidup gue sendiri.

Dan sekarang, gue mau bilang, bye! Gue selesai deh cerita-ceritanya tentang dia. Hehe. Selama masih bisa bahagia, harus siap resikonya kan ya? Hehehe.

Cinta Sesaat

Cinta begitu sulit untuk diartikan, terkadang kita tidak bisa mengartikan getaran yang kita rasakan adalah cinta atau hanya rasa sayang yang berlebihan karena adanya kedekatan. sebenarnya tak ada yang salah dengan perasaan yang mulai aku rasakan pada salah satu teman sekelasku, aku hanya merasa nyaman berada dekatnya, aman disampingnya, senang bila ada yang menyebut namanya dan masih banyak lagi perasaan-perasaan yang nggak bisa aku jelaskan. tapi yang jadi masalah adalah apakah semua perasaan yang aku rasakan itu cinta ? ahh.. aku lelah memikirkan itu. kubiarkan perasaan itu bersemayam  berharap perasaan itu hanya perasaan yang aku anggap lebih karena akhir-akhir ini aku memang dekat dengannya. 


“heii...duduk sesuai kelompok !!” seru joni si ketua kelas yang baru masuk kelas sambil membawa setumpuk photocopian. bel masuk baru saja berbunyi, dan aku menegang saat itu juga. ahh.. aku benci keadaan ini, jantungku mulai berdebar tak karuan. dan sedetik kemudian debaran itu semakin kencang begitu seseorang yang aku maksud di awal muncul dari balik pintu. Reza berjalan pelan dengan senyum yang... ‘ya tuhannn.. manis banget !! aku tersentak mendengar  jeritan hatiku barusan, tak bisa kuhindari bayangan Rama pun berkelebat di otakku. tidak-tidak tanpa sadar aku menggeleng cepat
“kenapa ?” aku tersadar dari pikiranku, suara halus itu. yaa.. cowok itu sudah berdiri di sisi mejaku, menatapku dengan heran “aku nggak boleh duduk di sini ?”
“hah ?” aku melongok “enggak-enggak, duduk aja kali” aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku-bukuku, tak berani menatapnya yang mungkin juga sedang menatapku. fiuhhh... aku terlalu GR, ternyata dia sedang sibuk dengan dunianya, memutar-mutar benda kubus warna-warni yang entah siapa memberinya nama rubik.

****
            Tugas kelompok yang tak habis-habisnya juga memaksaku harus banyak menghabiskan waktu dengan Reza, ehh... meski nggak berdua sih, masih ada yang lainnya juga. akupun tak menyadari kalau aku hampir saja melupakan seseorang yang tak semestinya aku lupakan. Rama, siang ini ia bela-belain izin pulang cepet dan menungguku di gerbang sekolah. ia memohon kepadaku untuk tidak ikut kerja kelompok siang ini saja. bahkan ia bersikeras untuk memintakkan aku izin kepada Riyan ketua kelompokku.
“ayolah Sil..siang ini aja, janji !!” Rama menatapku dengan tatapan memelas. ya tuhann.. jahatnya aku, sampai-sampai pacarku sendiripun harus memohon untuk waktuku. sesibuk itukah aku sampai-sampai aku melupakan cowok ini ?. mata elang itu masih menatapku, aku makin nelangsa saja dibuatnya.
“oke..” aku mengangguk “ntar aku minta izin sama Riyan”  senyum Rama pun langsung sumbringah.

 *****
            Reza meraih tanganku, sudah dari beberapa detik yang lalu ia berjongkok di depanku. dan seperti biasa jantungku bergemuruh ria. aku hanya berharap Reza sama sekali tak mendengarnya
“mau nggak jadi cewek gw ?” ucapnya lirih
DEG...!! aku kaget luar biasa, mataku terbelalak sementara mulutku ternganga. benarkah yang kudengar barusan ? Reza menyatakan cinta padaku ? jadi... selama ini Reza juga merasakan hal yang sama seperti aku ? aku sama sekali tak mempercayai ini. lagi-lagi bayangan Rama berkelebat di otakkku. Aku pasti akan mengatakan ‘Kamu serius ?’ kalau saja sebuah suara melengking hebat memanggil namaku
“SILVIAAA.....!!!” aku terperanjat mendengar seruan keras tersebut. hah ? Riyan ? kok riyan dan yang lainnya ada di sini ? gawat.. apa mereka liat kejadian barusan ? mampus deh gw
“Di dalam naskah, nggak ada adegan melongok-melongok begok kayak gitu dehh...” omel Riyan kesal, sambil mengacung-acungkan gulungan naskah
fiiuhhh....tanpa sadar aku menghela nafas berat dan panjang, ternyata hanya bhongan, hanya acting !! ada sepercik kekecewaan yang masuk ke relung hatiku. bodohnya aku.. sampai-sampai aku tak sadar kalau detik ini aku sedang latihan dRama “sory...sory...aku lupa dialognyakilahku sambil menyeringai lebar menyambut tatapan gemas Riyan, Dina, Sofi, Wulan terutama Reza. sumpah deh.. aku nggak bisa ngebayangin gimana konyolnya ekspresiku beberapa detik yg lalu.. fiuhh lagi-lagi aku menghela nafas.


****
            “jadi udah selesai nih ?” tanya Rama lirih, tapi tetap dengan senyuman. pekerjaan kelompokku sudah selesai 2 minggu yang lalu, tapi aku baru punya waktu buat Rama siang ini.
“iya, maaf ya aku baru punya waktu sekarang” aku menatap Rama lekat-lekat. Oh.. tuhan, betapa baik dan pengertiannya cowok ini, ia begitu mengerti keadaanku.
“nggak apa-apa kok, dulu.. aku waktu baru-baru SMA juga kayak gitu” Rama tersenyum lebar “oh iya, nihh.. hampir aja lupa” ujarnya lagi, sambil menyodorkan kantong plastik putih “aku beliin 2 lusin sekalian, pasti kamu belum pernah sempet beli”
tuhh... betul kan ? Rama emang pacar yang baik, perhatian lagi !! buktinya cowok ini tau, kalo aku lagi pengen banget makan kue yang di tengahnya bolong ini.
“Asyiiikkk...!!” seruku senang, aku lalu meraih satu buah Donat yg berlapis chochocrunch renyah. dan dalam hitungan detik Donat itu lenyap. hmmm... yummyy...
“enak ya Sil ?” tanya Rama yang memperhatikanku yang makan dengan lahap, aku mengangguk cepat. di depan Rama, aku memang nggak pernah jaim. tapi anehnya, Rama nggak pernah ilfeel sama aku. makanya itu, Rama perfect banget deh jadi cowok. tapi ya itu masalahnya.. aku susah banget menyangkal, kalo setengah hatiku sudah dicuri cowok lain,,, aku harus gimana ??  aku benar-benar dilema.

 ****
            Dony menatapku dengan kening berkerut, entah apa yang ada di pikirannya sampai-sampai mimik mukanya seserius itu. yang jelas itu tentang aku dan masalahku. sore ini aku sengaja datang ke rumah Dony sahabatku yang selama ini selalu setia mendengarkan semua curhatanku. tak jauh berbeda, aku juga menatapnya bingung, menunggu nasihat yang akan keluar dari mulutnya.
“kamu harus bisa ngelenyapin perasaan itu Sil..” akhirnya kata-kata itu yang keluar. aku langsung melongos “aku tau Don, aku juga pengen. tapi gimana caranya ?”
Dony menarik nafas “sebisa mungkin kamu jauhin Reza, gimana mungkin kamu bisa ngelupain Reza kalau setiap hari kamu sebangku sama dia” aku tertegun mendengar ucapan Dony, yaa.. semenjak satu kelompok, mendadak Reza memang jadi teman sebangkuku. “tapii...” ucapku menggantung
“mulai besok, kamu duduk bareng aku aja. biar Reza nggak ada alasan buat duduk sama kamu” lagi-lagi aku tertegun, Dony seolah bisa membaca pikiranku, kata-katanya barusan menjawab pertanyaan yg belum sempat aku lontarkan. “mau nggak ?” Dony menunggu jawabanku. yahh.. mungkin memang ini yang terbaik, aku mengangguk samar “iya, makasi ya Don..”
“sama-sama” Dony menepuk pundakku pelan “yuuk ah..aku antar pulang, udah mau malem nih” aku beranjak dari dudukku dan mengekor di belakangnya.

****
            3 minggu sudah berlalu sejak aku memutuskan untuk menjauhi Reza. sebisa mungkin selama di sekolah Dony selalu jadi pengawalku, meski berlebihan memang begitulah kenyataannya. Reza sendiri tak merasa aneh dengan sikapku yang akhir-akhir ini menjauhinya, dan ia juga tanpak biasa-biasa saja. kini selama aku duduk dengan Dony, ia lebih sering duduk dengan Sofi atau enggak Wulan. meski samar aku bisa memlihat perlakuan Reza terhadap Sofi, wulan dan cewek-cewek lain di kelasku tak ada bedanya dengan perlakuan Reza padaku. jadi selama ini aku saja yang terlalu berlebihan menganggap Reza memperlakukanku secara spesial, Reza memang baik dan dia baik pada semua orang tak terkecuali padaku. dan itulah bodohnya aku, mengapa aku baru menyadarinya sekarang ?
“heyy....heyy...” Reza melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku, aku tentu saja kaget. ternyata tanpa sadar dari tadi aku sedang memperhatikan Reza. hari ini Dony tidak masuk, katanya sih sakit, jadi aku nggak punya alasan deh untuk nolak waktu Reza ingin duduk di bangku sebelahku.
“aku taulah aku cakep, tapi nggak usah ngeliatin aku kayak gitu deh” canda Reza narsis
“hah ? ngeliatin kamu ? hueekk” aku pura-pur muntah “nggak banget deh” elakku. Padahal aku memang memperhatikannya hue hue..
Reza tertawa renyah melihat tingkahku, huh.. 3 minggu ya aku nggak pernah bercanda kayak gini sama ni cowok ? aku menarik nafas pelan, sambil kembali sibuk mengerjakan soal-soal yang ada di buku paket. tapi baru saja aku menjawab satu soal, aku menyadari suatu hal... ternyata dari tadi aku duduk dengan Reza, aku sama sekali tak merasakan perasaan itu lagi. jantungku tidak berdebar-debar lagi kayak seperti kemaren-kemaren, yahhh apa perasaan itu hilang ?? apapun itu saat ini aku sangat senang. dan kalian tau, siapa yang ada di pikiranku saat ini ?? yup Rama..

 ****
            “cepetan Dong Ramm..” aku berseru sambil berlari-lari kecil menghampiri deburan ombak yang tanpak tenang. Rama menyusulku setelah memarkir motornya di bawah salah satu pohon rindang di pinggir pantai.
2 bulan waktu yang cukup lama untuk meyakinkanku bahwa perasaanku pada Reza benar-benar sudah hilang, bahkan mungkin sebenarnya perasaan itu memang tak ada, tapi hanya aku saja yang menganggapnya ada.
“kamu kok tumben sih ngajak aku ke pantai ?” tanya Rama begitu duduk di sampingku. aku memejamkan mataku sejenak, kubiarkan angin pantai menerpa wajahku, kupenuhi paru-paruku dengan udara lalu menghembuskannya bersamaan dengan terbukanya mataku.
“kamu ingat hari ini hari apa ?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari hamparan laut tiada batas di depanku.
“emang hari apa ?” Rama mengikuti arah pandangku “hari minggu kan ? masak lupa”aku tertawa lirih, aku tau Rama hanya bercanda dengan pura-pura lupa “hari ini kan tepat satu tahun kita jadian”
“oh ya ?” Rama pura-pura kaget lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu tersenyum penuh arti “tentu saja aku ingat” Rama lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya “dan ini hadiah buat kamu” wow seuntai kalung.. tentu saja Rama ingat. bahkan ia sempat memberikan aku hadiah. sedangkan aku ? kalau saja tadi pagi Dony tak mengucapkan ‘Happy 1st Anniversary’ aku pasti sudah lupa. thanksss Donn... ucapku dalam hati.
“udahh... gimana ? suka nggak ?” tanya Rama begitu selesai menyematkan kalung itu di leherku
“mm... suka banget, thankss ya” lalu aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal “umm.. tapi, maaf ya Ramm.. aku nggak sempet beliin kamu sesuatu” ucapku penuh penyesalan
“hahhaha.. nggak apa-apa lagi Sill, aku kan nggak lagi ultah” ucapnya sambil tertawa
“tapi kann...”
“udahlahh... photoan yuukkk !!” ajaknya seraya berdiri, diulurkannya tangannya untuk membantuku berdiri, “minta bantuan siapa yaaa ?” aku celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin mau jadi sukarelawan
“paaakkk....!!” aku melambaikan tanganku pada seorang bapak yang sedang berlari-lari sore
“iya ?” bapak itu menghampiri
“bisa minta tolong photoin kami berdua nggak pak ?” pinta Rama sopan. dan bapak itupun dengan senang hati menerima uluran kamera dari Rama. setelah aku dan Rama memasang pose sekeren mungkin, bapak itu mulai menghitung bak photografer profesional “yakk... satu...duaaa....”
KLIK... dan moment itupun terabadikan untuk selamanya...